Sejarah gerbong maut di bondowoso 

Berikut Aku tulis Sedikit Ringkasan Cerita
tentang kenapa Bondowoso dikenal dengan “Gerbong Mautnya”, yang saya dapatkan
dari berbagai sumber.
Masih inget tentang
film “kereta Api Terakhir” yang dibintangi Gito Rollies sebagai Sersan Tobing, dimana juga ada peran Kolonel Gatot
Subroto yang dibintangi Sundjoto Adibroto dengan brilian. Dan ada
kata-kata terkenal dari Gatot Subroto pada adegan itu : “Bacakansurat itu, kamu tahu aku kan buta huruf!!,…aku tidak bisa baca!!”
Film Kereta Api Terakhir sebenarnya diilhami kejadian Gerbong Maut di
Bondowoso, yang ceritanya jauh lebih mengerikan…begini ceritanya :
Subroto yang dibintangi Sundjoto Adibroto dengan brilian. Dan ada
kata-kata terkenal dari Gatot Subroto pada adegan itu : “Bacakansurat itu, kamu tahu aku kan buta huruf!!,…aku tidak bisa baca!!”
Film Kereta Api Terakhir sebenarnya diilhami kejadian Gerbong Maut di
Bondowoso, yang ceritanya jauh lebih mengerikan…begini ceritanya :
Belanda
melakukan penangkapan besar-besaran terhadap TRI, lasjkar, gerakan bawah tanah
dan orang-orang tanpa menghiraukan apakah yang bersangkutan berperan atau tidak
dalam kegiatan perjuangan. Sehingga dalam waktu singkat penjara Bondowoso tidak
mampu lagi menampung tahanan yang pada waktu itu mencapai ± 637 orang. Belanda bermaksud
memindahkan tahanan yang termasuk “pelanggaran berat” dari penjara Bondowoso ke penjara Surabaya. Untuk
mengangkut para tahanan tersebut digunakan sarana kereta api.
Setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pemindahan pertama dan kedua berjalan dengan baik karena gerbong yang mengangkut tahanan diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Namun saat pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanan rakyat tidak boleh mendekati gerbong. Akibatnya, semua tahanan dalam gerbong menderita kelaparan dan kehausan. Pemindahan tahap ketiga inilah
Setiap tahap pengangkutan memuat sebanyak 100 orang. Pemindahan pertama dan kedua berjalan dengan baik karena gerbong yang mengangkut tahanan diberi ventilasi seluas 10-15 cm. Namun saat pemindahan tahap ketiga, gerbong tertutup sangat rapat dan selama perjalanan rakyat tidak boleh mendekati gerbong. Akibatnya, semua tahanan dalam gerbong menderita kelaparan dan kehausan. Pemindahan tahap ketiga inilah
Yang Dikenal dengan Sebutan
“Gerbong Maut”.
Setelah mendapat
perintah langsung dari Komandan J Van den Dorpe, Kepala Penjara
mengumpulkan semua tahanan yang telah tercatat namanya. Pada Sabtu, 23 November 1947, jam 04.00 WIB, tahanan yang tercatat dibangunkan secara kasar
lalu dikumpulkan di depan penjara. Rincian tahanan adalah sebagai berikut: rakyat desa (20 orang), kelaskaran rakyat dan gerakan bawah tanah(30
Orang), anggota TRI (30 orang), dan
tahanan rakyat serta polisi (20 orang). Pada jam 05.30
WIB tahanan tiba di Stasiun Kereta Api Bondowoso. Sebanyak 32 orang masuk gerbong pertama yang bernomor GR 5769; 30 oarang ke gerbong kedua yang bernomor GR 4416, sisanya berebutan masuk ke gerbong yang terakhir bernomor GR 10152 karena panjang dan masih baru.
WIB tahanan tiba di Stasiun Kereta Api Bondowoso. Sebanyak 32 orang masuk gerbong pertama yang bernomor GR 5769; 30 oarang ke gerbong kedua yang bernomor GR 4416, sisanya berebutan masuk ke gerbong yang terakhir bernomor GR 10152 karena panjang dan masih baru.
Pada
jam 07.00 WIB kereta dari Situbondo datang. maka, saat itu juga gerbong
digandeng. Menurut Ru Munawar yang masuk gerbong pertama, setelah gerbong
dikunci, keadaan menjdi gelap gulita dan udara tersa panas walaupun masih pagi.
Jam 07.30 kereta bergerak menuju Surabaya. tepat di Satsiun Taman, mulai
terjadi peristiwa memilukan, Kiai Samsuri 50 Tahun, membanting-bantingkan tubuhnya sambil
berteriak kepanasan. Jangankan diisi 30 Orang, 10 orang saja sudah terbayang
panasnya. gedoran-gedoran para tahanan sudah tidak digubris bahkan dijawab
dengan bentakan pedas; “Biar kalian mapus semua, hai anjing ekstrim!, atau “Di
sini tidak ada makanan dan air minum, yang ada cuma peluru”.
Ketika tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam terik matahari. Akhirnya pada jam 10.30 WIB kereta baru berangkat dari Jember ke Probolinggo. Setelah meningglkan Jember di siang hari, suasana gerbong bagaikan didalam neraka karena atap dan dinding gerbong terbuat dari plat baja.Banyak terjadi peristiwa diluar batas kemanusiaan, misalnya guna mempertahankan hidup dari kehausan sebagian para tahanan terpaksa meminum air kencing tahanan yang lainnya.
Mendekati Stasiun Jatiroto, Allah SWT menebarkan rahmat-NYA. Hujan yang cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat tetesan air yang berasal dari lubang-lubang kecil.Tidak demikian halnya dengan gerbong ketigaGR10152. karena masih baru, para tahanan tidak mendapatkan tetesan air sedikitpun. Ketika sampai di Surabaya, dalam gerbong ketiga (GR10152) tidak ada satupun yang hidup.
Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Gerbong Maut sampai di Stasiun Wonokromo. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Setelah didata, di gerbong I No. GR 5769 sebanyak 5 sakit keras, 27 orang sehat tapi kondisi lemas lunglai, Gerbong II No. GR.4416 sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat, dan di Gerbong III No. GR. 10152 seluruh tawanan sebanyak 38 orang meninngal semua.
Para tahanan yang sehat dipaksa menganggkut temannya yang sudah meninngal. Semua jenazah diletakkan secara sejajar. Setelah dievakuasi, lalu diangkut ke truk yang telah disediakan. Jenazah harus diangkut dengan sangat hati-hati sebab kalau tidak maka daging jenazah akan mengelupas akibat kepanasan.
Adapun tambahan ceritanya dari saksi hidup Mas Suhadi :
DI JAWA TIMUR, PERISTIWA GERBONG MAUT BANYAK DIBICARAKAN ORANG, KHUSUSNYA PADA SAAT HARI-HARI BESAR NASIONAL. APA SEBETULNYA PERISTIWA GERBONG MAUT ITU? MAS SOEHADI (82 TAHUN), PELAKU SEJARAH, MENUTURKAN KESAKSIANNYA KEPADA SAYA DI SIDOARJO.
Oleh Lambertus L. Hurek
MAS SOEHADI, yang tinggal di RT 3/RW 1 Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo,
termasuk salah satu dari 100 penumpang ‘gerbong maut’ dari Bondowoso
ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.Belanda berusaha memperhalus kekejamannya dengan istilah ‘aksi polisionil’.
Dus, tindakan kepolisian untuk menertibkan para pelaku kejahatan. “Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api,” kenang pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 ini.
Tentara Belanda sangat ngawur. Siapa saja dirazia, khususnya para pemuda yang punya potensi memberontak. Nah, MAS SOEHADI, waktu itu 20-an tahun dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso, ikut ditangkap. Di tengah teror mental yang luar biasa, mereka dimasukkan ke dalam TIGA GERBONG.
“Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan, pengap sekali. Anak-anak, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu,” kata MAS SOEHADI.
Eyang SOEHADI menduga, kebijakan mengurung 100 tawanan itu dilakukan
untuk menghindari intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam.
“Gerbongnya hanya dibuka sebentar di stasiun, terus tutup lagi,” kata ayah tiga anak ini.
Pengapnya udara, akumulasi gas karbondioksida, ditambah desak-desakan
yang ekstrem, tak ayal membuat sebagian tawanan meregang nyawa. Satu per satu tawanan, ya, kawan-kawan Eyang Soehadi, meninggal di dalam gerbong. Mati lemas! Sampai di Surabaya–mula-mula di Stasiun Wonokromo, Surabaya, baru diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, Eyang Soehadi termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.
“Saya sendiri heran, kok bisa selamat. Mungkin, takdir saya belum sampai,” katanya. Gaya bahasa dan pola pikir pria sepuh ini masih runtut dan sistematis.
Eyang Soehadi dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di
Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, Eyang Soehadi mendekam di dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan sedikit pun. Ketahuan kalau ‘Aksi Polisional’ I itu hanya akal-akalan Belanda untuk merampok kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, Eyang Soehadi dan kawan-kawan dibebaskan. “Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,” tutur Mas Soehadi.
NYARIS MATI LEMAS DALAM KASUS ‘GERBONG MAUT’ PADA 28 DESEMBER 1947, MAS SOEHADI TAK MENDAPAT APA-APA. TANDA JASA NIHIL. PENGHARGAAN SEBAGAI VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN PUN TAK. TAPI, SOEHADI MERASA BANGGA KARENA DITAKDIRKAN TUHAN MENJADI SALAH SATU PELAKU SEJARAH DI REPUBLIK INI.
“NAK, umur kami-kami ini sudah sedikit. Sebentar lagi juga habis. Mau minta apa lagi?” ujar Soehadi kepada saya.
Bahwa ia selamat, padahal 46 orang pejuang tewas di dalam gerbong karena kehabisan oksigen, sudah menjadi hadiah tersendiri dalam hidupnya. Eyang mengaku peristiwa tragis puluhan tahun silam itu sering muncul di benaknya.
“Kok bisa-bisanya saya selamat? Ini pasti karena kehendak Gusti Allah,” kata pria kelahiran Kediri,28 April 1923 itu.
Kini, generasi ’45 macam Eyang Soehadi surut satu per satu. Tugas mengisi kemerdekaan–yang tak kalah berat dibanding merebut kemerdekaan–diteruskan oleh generasi baru.
Ketika tiba di Stasiun Kalisat, gerbong tahanan harus menunggu kereta dari banyuwangi. Selama dua jam para tahanan berada dalam terik matahari. Akhirnya pada jam 10.30 WIB kereta baru berangkat dari Jember ke Probolinggo. Setelah meningglkan Jember di siang hari, suasana gerbong bagaikan didalam neraka karena atap dan dinding gerbong terbuat dari plat baja.Banyak terjadi peristiwa diluar batas kemanusiaan, misalnya guna mempertahankan hidup dari kehausan sebagian para tahanan terpaksa meminum air kencing tahanan yang lainnya.
Mendekati Stasiun Jatiroto, Allah SWT menebarkan rahmat-NYA. Hujan yang cukup deras dimanfaatkan para tahanan yang masih hidup untuk meneguk tetes demi tetes air dengan menjilat tetesan air yang berasal dari lubang-lubang kecil.Tidak demikian halnya dengan gerbong ketigaGR10152. karena masih baru, para tahanan tidak mendapatkan tetesan air sedikitpun. Ketika sampai di Surabaya, dalam gerbong ketiga (GR10152) tidak ada satupun yang hidup.
Setelah menempuh perjalanan selama 16 jam, Gerbong Maut sampai di Stasiun Wonokromo. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Setelah didata, di gerbong I No. GR 5769 sebanyak 5 sakit keras, 27 orang sehat tapi kondisi lemas lunglai, Gerbong II No. GR.4416 sebanyak 8 orang meninggal, 6 orang sehat, dan di Gerbong III No. GR. 10152 seluruh tawanan sebanyak 38 orang meninngal semua.
Para tahanan yang sehat dipaksa menganggkut temannya yang sudah meninngal. Semua jenazah diletakkan secara sejajar. Setelah dievakuasi, lalu diangkut ke truk yang telah disediakan. Jenazah harus diangkut dengan sangat hati-hati sebab kalau tidak maka daging jenazah akan mengelupas akibat kepanasan.
Adapun tambahan ceritanya dari saksi hidup Mas Suhadi :
DI JAWA TIMUR, PERISTIWA GERBONG MAUT BANYAK DIBICARAKAN ORANG, KHUSUSNYA PADA SAAT HARI-HARI BESAR NASIONAL. APA SEBETULNYA PERISTIWA GERBONG MAUT ITU? MAS SOEHADI (82 TAHUN), PELAKU SEJARAH, MENUTURKAN KESAKSIANNYA KEPADA SAYA DI SIDOARJO.
Oleh Lambertus L. Hurek
MAS SOEHADI, yang tinggal di RT 3/RW 1 Desa Lebo, Kecamatan Sidoarjo,
termasuk salah satu dari 100 penumpang ‘gerbong maut’ dari Bondowoso
ke Surabaya pada 28 Desember 1947. Aksi ini merupakan lanjutan dari Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.Belanda berusaha memperhalus kekejamannya dengan istilah ‘aksi polisionil’.
Dus, tindakan kepolisian untuk menertibkan para pelaku kejahatan. “Kami yang seratus orang itu dicakup, ditawan, dan dimasukkan di tiga gerbong kereta api,” kenang pria kelahiran Kediri, 28 April 1923 ini.
Tentara Belanda sangat ngawur. Siapa saja dirazia, khususnya para pemuda yang punya potensi memberontak. Nah, MAS SOEHADI, waktu itu 20-an tahun dan bekerja di kawasan Sukosari, Bondowoso, ikut ditangkap. Di tengah teror mental yang luar biasa, mereka dimasukkan ke dalam TIGA GERBONG.
“Setelah semuanya masuk, pintu gerbong ditutup rapat. Tidak ada penerangan, pengap sekali. Anak-anak, kalian bisa bayangkan apa yang terjadi saat itu,” kata MAS SOEHADI.
Eyang SOEHADI menduga, kebijakan mengurung 100 tawanan itu dilakukan
untuk menghindari intaian para gerilyawan RI. Sebab, waktu itu gerilyawan tersebar di mana-mana, khususnya di hamparan sawah dekat rel kereta api. Jika ketahuan kalau gerbong itu berisi perjuang RI, hampir pasti gerilyawan tak akan tinggal diam.
“Gerbongnya hanya dibuka sebentar di stasiun, terus tutup lagi,” kata ayah tiga anak ini.
Pengapnya udara, akumulasi gas karbondioksida, ditambah desak-desakan
yang ekstrem, tak ayal membuat sebagian tawanan meregang nyawa. Satu per satu tawanan, ya, kawan-kawan Eyang Soehadi, meninggal di dalam gerbong. Mati lemas! Sampai di Surabaya–mula-mula di Stasiun Wonokromo, Surabaya, baru diketahui kalau 46 pejuang RI tewas. Dan, Eyang Soehadi termasuk dalam bilangan 54 tawanan yang selamat.
“Saya sendiri heran, kok bisa selamat. Mungkin, takdir saya belum sampai,” katanya. Gaya bahasa dan pola pikir pria sepuh ini masih runtut dan sistematis.
Eyang Soehadi dan kawan-kawan kemudian diangkut ke penjara militer di
Jalan Bubutan Surabaya. (Penjara bersejarah itu sekarang tak ada lagi.) Dua tahun lamanya, Eyang Soehadi mendekam di dalam penjara tanpa tahu apa kesalahannya, tanpa ada proses pengadilan sedikit pun. Ketahuan kalau ‘Aksi Polisional’ I itu hanya akal-akalan Belanda untuk merampok kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
Menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 November 1949, Eyang Soehadi dan kawan-kawan dibebaskan. “Saya masih ingat, kami dikeluarkan pada tanggal 22 November 1949,” tutur Mas Soehadi.
NYARIS MATI LEMAS DALAM KASUS ‘GERBONG MAUT’ PADA 28 DESEMBER 1947, MAS SOEHADI TAK MENDAPAT APA-APA. TANDA JASA NIHIL. PENGHARGAAN SEBAGAI VETERAN PEJUANG KEMERDEKAAN PUN TAK. TAPI, SOEHADI MERASA BANGGA KARENA DITAKDIRKAN TUHAN MENJADI SALAH SATU PELAKU SEJARAH DI REPUBLIK INI.
“NAK, umur kami-kami ini sudah sedikit. Sebentar lagi juga habis. Mau minta apa lagi?” ujar Soehadi kepada saya.
Bahwa ia selamat, padahal 46 orang pejuang tewas di dalam gerbong karena kehabisan oksigen, sudah menjadi hadiah tersendiri dalam hidupnya. Eyang mengaku peristiwa tragis puluhan tahun silam itu sering muncul di benaknya.
“Kok bisa-bisanya saya selamat? Ini pasti karena kehendak Gusti Allah,” kata pria kelahiran Kediri,28 April 1923 itu.
Kini, generasi ’45 macam Eyang Soehadi surut satu per satu. Tugas mengisi kemerdekaan–yang tak kalah berat dibanding merebut kemerdekaan–diteruskan oleh generasi baru.
“Cerita
Gerbong Maut ini membuktikan bahwa Belanda sama sekali belum sadar dan tidak
merasa berdosa. Belum ada permintaan maaf Belanda terhadap kasus ini. Ini
sudah kejahatan internasional dan mustinya secara resmi Belanda meminta maaf
apa yang terjadi di Indonesia”.